Kompas tgl 28 April 2007
Sarjana Nuklir Berjualan Es Krim
Oleh Dwi Bayu Radius
Pemutusan hubungan kerja saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan. Selain bisa terjadi kapan saja, pemutusan hubungan kerja juga bisa menimpa siapa saja. Tidak peduli lulusan SMP, SMA, atau bahkan sarjana. Nasib baik yang dulu memayungi dalam sekejap bisa berubah drastis, bahkan ada yang terbalik menjadi tukang tambal ban dan pemulung.
Pengalaman getir ini harus dialami R Edy Haryatno Fitriyanto (41). Ketika PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara besar-besaran terhadap 6.551 karyawannya, Edy Haryatno Fitriyanto termasuk di dalamnya.
Sarjana Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada ini tersingkir dari PT DI tahun 2003. Protes dan unjuk rasa tak mampu mengubah keputusan perusahaannya.
Berbagai usaha telah dicoba untuk menafkahi keluarganya, mulai dari beternak kelinci, ayam, itik, berjualan rokok, dan keripik singkong. Namun, kerja serabutan tersebut gagal atau tidak memuaskan. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjualan es krim di di pusat perbelanjaan Ramayana, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Edy, yang dulunya bekerja sebagai pemrogram dan pendesain di bagian Engineering Research Development Center PT DI, harus menerima kenyataan ini.
Bukan hanya Edy yang membuka usaha ini. Sedikitnya ada tujuh orang mantan karyawan PT DI yang berjualan es krim.
Profesi Edy yang dulu penuh dengan kesan teknologi canggih pun kini harus berganti dengan pekerjaan sederhana. Hanya sekali-sekali dia dapat mengaplikasikan ilmunya, seperti saat diminta menangani bidang teknologi informasi di Badan Pengawasan Daerah Kota Sukabumi akhir tahun 2006.
Edy tak sendiri. Banyak mantan karyawan PT DI yang melakukan pekerjaan tak sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Mereka harus bekerja serabutan demi menyambung hidup.
Pendidikan tinggi dan pengalaman kerja seolah tak dihargai di negeri ini. Tenaga-tenaga terlatih dan sangat langka yang dulu dididik di luar negeri dengan biaya mahal kini tak diperhatikan negara.
*Jadi pemulung*
Dadang Supriatna (50), mantan karyawan PT DI lain, kini membuka warung kecil
meski pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya, hanya sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 per hari. Warung itu menjual kopi, gula, terigu, sampo, dan lain-lain. Sehari-hari, pendapatan Dadang harus ditopang oleh anaknya yang menjadi pegawai perusahaan distributor komputer.
Meski sudah bekerja di PT DI selama sekitar 25 tahun, Dadang tetap kesulitan memperoleh pekerjaan lain. Umur yang tak lagi muda dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru menjadi hambatan. Terakhir, dia bekerja sebagai Kepala Bagian Change Management Department Engineering Pesawat N-250.
Bersama rekan-rekan mantan pegawai lain dia sempat menjalankan usaha pembuatan barang-barang pengeboran dari fiberglass. Entah mengapa, pesanan
dari konsumen terhenti setelah kejadian semburan lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Usaha tersebut hanya berlangsung selama setahun, dan Dadang kini terpaksa membuka usaha warung.
Mantan pegawai PT DI lain yang sekompleks perumahan dengan Dadang di Melong Green Garden, Kota Cimahi, ada yang berjualan gorengan, nasi kuning, atau nasi goreng. Padahal, sebagian besar karyawan PT DI merupakan tenaga terlatih dan banyak di antaranya menjalani pendidikan di luar negeri.
Di antara mantan karyawan PT DI lainnya, banyak yang menjalani kehidupan memprihatinkan, seperti menjadi tukang parkir atau tukang tambal ban. Bahkan, nasib buruk dialami seorang mantan karyawan yang sekompleks dengan Dadang, dia menjadi pemulung. Rekannya itu dulu bekerja di bagian Quality Assurance PT DI, bertugas memeriksa komponen pesawat terbang sebelum dioperasikan.
*Tukang cat*
Nasib yang hampir sama juga dialami Nugroho (44). Jabatan asisten manajer di perusahaan waralaba asal Amerika Serikat yang menjual ayam goreng di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ini sebetulnya sangatlah nyaman. Gaji pokok Rp 2,25 juta per bulan cukup untuk menghidupi anak dan istri. Tetapi, ia tercerabut oleh tuduhan yang dicari-cari.
Nugroho, setelah keluar dari tempat kerjanya itu, kini bekerja serabutan. Sekali waktu dia menjadi tukang pagar yang menghaluskan kayu pohon kelapa, pada kesempatan lain dia bekerja mengecat dan memasang pagar. Kalau ada yang meminta, dia pun sanggup menjadi sopir yang melintasi berbagai wilayah di Jatim. Terkadang, temannya mengajak bekerja sebagai buruh lepas tukang cat. Di waktu lain dia membantu saudaranya menyiapkan dekorasi untuk pernikahan.
Sebagai tambahan pendapatan, Nugroho ikut berjualan pulsa elektronik milik seorang teman. Untuk setiap transaksi, dia menerima Rp 500. Setiap hari Nugroho bisa memperoleh pendapatan Rp 2.000.
Kendati tidak sepadan untuk dirinya yang sarjana jurusan Bahasa Indonesia, Nugroho tidak memilih pekerjaan atau meminta jumlah upah tertentu. "Yang penting halal dan berkah. Upah berapa saja saya terima. Pernah saya antar orang (sebagai sopir) sejak jam 08.00 sampai 24.00 dengan rute Malang-Cepu- Malang hanya dapat Rp 20.000, tetap saya terima," tuturnya.
Nugroho sesungguhnya telah bekerja di restoran ayam goreng waralaba asal Amerika Serikat tersebut selama 13 tahun.
Awal 2006 dia dituduh mencuri. Pencurian yang dituduhkan itu disebabkan rutinitas penukaran uang pecahan. Hasil penukaran terlambat dibawa ke kantor karena di tempat penukaran yang biasanya tersebut tidak ada uang pecahan, sedangkan esoknya Nugroho libur. Akibatnya, uang pecahan baru dibawa ke kantor dua hari kemudian.
Kendati penukaran itu sudah diketahui oleh kepala kasir, Nugroho tetap dituduh mencuri meskipun tidak dibuktikan di pengadilan. Buntutnya, suami dari Riyana (29) dan ayah dari Fauzi (6) ini dikenai pemutusan hubungan kerja.
*Ijazah tak laku*
Nasib yang hampir sama juga dialami Maman Sumarna (37). Buruh pabrik tekstil di Cimahi, Jawa Barat, ini harus berhenti bekerja pada tahun 2005 bersama 2.000 rekannya karena perusahaannya tempat bekerja pailit.
Setelah ijazah tak mempan untuk mendapatkan pekerjaan, dia pun banting setir dengan berjualan pulsa telepon seluler di Padalarang, Kabupaten Bandung. Meski untungnya tak seberapa, dia tetap melakoninya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Tak berharganya ijazah, juga dirasakan Peni (42) yang mantan karyawan Bank Papan Sejahtera yang dilikuidasi 1998. Setelah lamarannya ke berbagai perusahaan ditolak karena alasan usia, sarjana akuntansi ini pun akhirnya membuka toko kelontong untuk menambah penghasilan keluarga. Namun, usaha ini tak berlangsung lama.
"Persaingan terlalu berat jadi saya tutup warung dan beralih ke angkutan sampah padang golf di Surabaya," ujar Peni. Kesulitan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan harapan juga dialami Firman (45), mantan karyawan Bank Duta di Jakarta yang dilikuidasi. Setelah berkali-kali lamarannya ditolak, akhirnya dia pindah ke Surabaya.
Bagi Peni dan Firman, setelah terkena PHK dari bank tempat mereka bekerja, sulit untuk mencari pekerjaan baru terutama di sektor keuangan. Alasannya, usia sudah tidak muda sehingga tak sesuai dengan persyaratan perusahaan.
Faktor lain, perbankan umumnya menerapkan sistem kontrak sehingga setiap tahun karyawan wajib memperpanjang kontrak. Sistem kontrak mungkin tidak terlalu dipersoalkan karyawan baru, apalagi yang baru lulus kuliah, karena prinsipnya yang penting memiliki pekerjaan.
Padahal bekerja dengan sistem kontrak benar-benar tidak nyaman karena selain kesejahteraan minim, jaminan hari tua juga nihil. Bagi korban PHK pada masa krisis ekonomi 1998 hingga sekarang, mendapatkan pekerjaan baru bukan hal yang mudah. Pengalaman kerja yang cukup lama ternyata tidak cukup menjadi modal mencari tempat bekerja yang baru dan sesuai disiplin ilmu.
(INA/ETA/THY)
Oleh Dwi Bayu Radius
Pemutusan hubungan kerja saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan. Selain bisa terjadi kapan saja, pemutusan hubungan kerja juga bisa menimpa siapa saja. Tidak peduli lulusan SMP, SMA, atau bahkan sarjana. Nasib baik yang dulu memayungi dalam sekejap bisa berubah drastis, bahkan ada yang terbalik menjadi tukang tambal ban dan pemulung.
Pengalaman getir ini harus dialami R Edy Haryatno Fitriyanto (41). Ketika PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara besar-besaran terhadap 6.551 karyawannya, Edy Haryatno Fitriyanto termasuk di dalamnya.
Sarjana Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada ini tersingkir dari PT DI tahun 2003. Protes dan unjuk rasa tak mampu mengubah keputusan perusahaannya.
Berbagai usaha telah dicoba untuk menafkahi keluarganya, mulai dari beternak kelinci, ayam, itik, berjualan rokok, dan keripik singkong. Namun, kerja serabutan tersebut gagal atau tidak memuaskan. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjualan es krim di di pusat perbelanjaan Ramayana, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Edy, yang dulunya bekerja sebagai pemrogram dan pendesain di bagian Engineering Research Development Center PT DI, harus menerima kenyataan ini.
Bukan hanya Edy yang membuka usaha ini. Sedikitnya ada tujuh orang mantan karyawan PT DI yang berjualan es krim.
Profesi Edy yang dulu penuh dengan kesan teknologi canggih pun kini harus berganti dengan pekerjaan sederhana. Hanya sekali-sekali dia dapat mengaplikasikan ilmunya, seperti saat diminta menangani bidang teknologi informasi di Badan Pengawasan Daerah Kota Sukabumi akhir tahun 2006.
Edy tak sendiri. Banyak mantan karyawan PT DI yang melakukan pekerjaan tak sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Mereka harus bekerja serabutan demi menyambung hidup.
Pendidikan tinggi dan pengalaman kerja seolah tak dihargai di negeri ini. Tenaga-tenaga terlatih dan sangat langka yang dulu dididik di luar negeri dengan biaya mahal kini tak diperhatikan negara.
*Jadi pemulung*
Dadang Supriatna (50), mantan karyawan PT DI lain, kini membuka warung kecil
meski pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya, hanya sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 per hari. Warung itu menjual kopi, gula, terigu, sampo, dan lain-lain. Sehari-hari, pendapatan Dadang harus ditopang oleh anaknya yang menjadi pegawai perusahaan distributor komputer.
Meski sudah bekerja di PT DI selama sekitar 25 tahun, Dadang tetap kesulitan memperoleh pekerjaan lain. Umur yang tak lagi muda dan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru menjadi hambatan. Terakhir, dia bekerja sebagai Kepala Bagian Change Management Department Engineering Pesawat N-250.
Bersama rekan-rekan mantan pegawai lain dia sempat menjalankan usaha pembuatan barang-barang pengeboran dari fiberglass. Entah mengapa, pesanan
dari konsumen terhenti setelah kejadian semburan lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Usaha tersebut hanya berlangsung selama setahun, dan Dadang kini terpaksa membuka usaha warung.
Mantan pegawai PT DI lain yang sekompleks perumahan dengan Dadang di Melong Green Garden, Kota Cimahi, ada yang berjualan gorengan, nasi kuning, atau nasi goreng. Padahal, sebagian besar karyawan PT DI merupakan tenaga terlatih dan banyak di antaranya menjalani pendidikan di luar negeri.
Di antara mantan karyawan PT DI lainnya, banyak yang menjalani kehidupan memprihatinkan, seperti menjadi tukang parkir atau tukang tambal ban. Bahkan, nasib buruk dialami seorang mantan karyawan yang sekompleks dengan Dadang, dia menjadi pemulung. Rekannya itu dulu bekerja di bagian Quality Assurance PT DI, bertugas memeriksa komponen pesawat terbang sebelum dioperasikan.
*Tukang cat*
Nasib yang hampir sama juga dialami Nugroho (44). Jabatan asisten manajer di perusahaan waralaba asal Amerika Serikat yang menjual ayam goreng di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ini sebetulnya sangatlah nyaman. Gaji pokok Rp 2,25 juta per bulan cukup untuk menghidupi anak dan istri. Tetapi, ia tercerabut oleh tuduhan yang dicari-cari.
Nugroho, setelah keluar dari tempat kerjanya itu, kini bekerja serabutan. Sekali waktu dia menjadi tukang pagar yang menghaluskan kayu pohon kelapa, pada kesempatan lain dia bekerja mengecat dan memasang pagar. Kalau ada yang meminta, dia pun sanggup menjadi sopir yang melintasi berbagai wilayah di Jatim. Terkadang, temannya mengajak bekerja sebagai buruh lepas tukang cat. Di waktu lain dia membantu saudaranya menyiapkan dekorasi untuk pernikahan.
Sebagai tambahan pendapatan, Nugroho ikut berjualan pulsa elektronik milik seorang teman. Untuk setiap transaksi, dia menerima Rp 500. Setiap hari Nugroho bisa memperoleh pendapatan Rp 2.000.
Kendati tidak sepadan untuk dirinya yang sarjana jurusan Bahasa Indonesia, Nugroho tidak memilih pekerjaan atau meminta jumlah upah tertentu. "Yang penting halal dan berkah. Upah berapa saja saya terima. Pernah saya antar orang (sebagai sopir) sejak jam 08.00 sampai 24.00 dengan rute Malang-Cepu- Malang hanya dapat Rp 20.000, tetap saya terima," tuturnya.
Nugroho sesungguhnya telah bekerja di restoran ayam goreng waralaba asal Amerika Serikat tersebut selama 13 tahun.
Awal 2006 dia dituduh mencuri. Pencurian yang dituduhkan itu disebabkan rutinitas penukaran uang pecahan. Hasil penukaran terlambat dibawa ke kantor karena di tempat penukaran yang biasanya tersebut tidak ada uang pecahan, sedangkan esoknya Nugroho libur. Akibatnya, uang pecahan baru dibawa ke kantor dua hari kemudian.
Kendati penukaran itu sudah diketahui oleh kepala kasir, Nugroho tetap dituduh mencuri meskipun tidak dibuktikan di pengadilan. Buntutnya, suami dari Riyana (29) dan ayah dari Fauzi (6) ini dikenai pemutusan hubungan kerja.
*Ijazah tak laku*
Nasib yang hampir sama juga dialami Maman Sumarna (37). Buruh pabrik tekstil di Cimahi, Jawa Barat, ini harus berhenti bekerja pada tahun 2005 bersama 2.000 rekannya karena perusahaannya tempat bekerja pailit.
Setelah ijazah tak mempan untuk mendapatkan pekerjaan, dia pun banting setir dengan berjualan pulsa telepon seluler di Padalarang, Kabupaten Bandung. Meski untungnya tak seberapa, dia tetap melakoninya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Tak berharganya ijazah, juga dirasakan Peni (42) yang mantan karyawan Bank Papan Sejahtera yang dilikuidasi 1998. Setelah lamarannya ke berbagai perusahaan ditolak karena alasan usia, sarjana akuntansi ini pun akhirnya membuka toko kelontong untuk menambah penghasilan keluarga. Namun, usaha ini tak berlangsung lama.
"Persaingan terlalu berat jadi saya tutup warung dan beralih ke angkutan sampah padang golf di Surabaya," ujar Peni. Kesulitan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan harapan juga dialami Firman (45), mantan karyawan Bank Duta di Jakarta yang dilikuidasi. Setelah berkali-kali lamarannya ditolak, akhirnya dia pindah ke Surabaya.
Bagi Peni dan Firman, setelah terkena PHK dari bank tempat mereka bekerja, sulit untuk mencari pekerjaan baru terutama di sektor keuangan. Alasannya, usia sudah tidak muda sehingga tak sesuai dengan persyaratan perusahaan.
Faktor lain, perbankan umumnya menerapkan sistem kontrak sehingga setiap tahun karyawan wajib memperpanjang kontrak. Sistem kontrak mungkin tidak terlalu dipersoalkan karyawan baru, apalagi yang baru lulus kuliah, karena prinsipnya yang penting memiliki pekerjaan.
Padahal bekerja dengan sistem kontrak benar-benar tidak nyaman karena selain kesejahteraan minim, jaminan hari tua juga nihil. Bagi korban PHK pada masa krisis ekonomi 1998 hingga sekarang, mendapatkan pekerjaan baru bukan hal yang mudah. Pengalaman kerja yang cukup lama ternyata tidak cukup menjadi modal mencari tempat bekerja yang baru dan sesuai disiplin ilmu.
(INA/ETA/THY)